KLATEN – Di suatu siang di Plosorejo Baru, Desa Sekarsuli, Klaten Utara, udara bercampur aroma khas pakan ternak kambing begitu terasa. Di halaman samping rumah yang bersih dan terawat, suara embikan kambing terdengar bersahutan. Dua pemuda mengajak saya ke kandang yang berisi puluhan kambing Boer Fullblood Australia dan peranakannya. Mereka terlihat sibuk merapikan pakan kambing yang berisi campuran daun kangkung dan kleci—kulit kacang kedelai yang kaya protein.
Itulah keseharian keluarga Pujo Darsono. Sebuah keluarga yang kini dikenal sebagai salah satu pioner peternakan kambing Boer Australia dan keturunannya di Klaten. Peternakan ini bukan sekadar lahan usaha, melainkan wujud kekompakan, mimpi, dan semangat untuk bangkit membangun usaha mandiri.
Segalanya berawal dari gagasan dan refleksi diri setelah badai pandemi COVID-19 mereda. Bagi Pujo Darsono, seorang pegawai yang mulai bersiap menghadapi masa pensiun, muncul pertanyaan besar: “Usaha apa yang akan saya lakukan nanti?”
Dalam suasana hangat keluarga, Pujo membuka diskusi itu. Meita Handayani, istrinya, dan kedua anaknya, Alderico Bryan dan Galih Raditya Ghutama, ikut menyimak dengan antusias. “Kami ngobrol, berpikir bareng-bareng. Apa ya usaha yang cocok? Yang bisa kami kerjakan bersama dan punya prospek?” tutur Meita saat ditemui di rumahnya, Sabtu (3 Mei 2025).
Ide pertama adalah beternak kambing domba. Namun, keputusan itu tidak diambil secara tergesa. Mereka sepakat bahwa keputusan harus melalui survei, studi lapangan, dan pencarian informasi selengkap mungkin.
“Akhirnya setiap hari libur, kami keliling ke berbagai daerah. Lihat kandang, ngobrol sama peternak. Kami belajar langsung, bukan dari teori saja,” tambah Meita. Perjalanan itu membawa mereka pada satu nama yang berulang kali disebutyaitu kambing Boer Australia.
Kambing Boer (dibaca Bur), berasal dari Afrika Selatan namun dikembangkan secara intensif di Australia, dikenal sebagai kambing pedaging terbaik di dunia. Ciri khasnya yaitu tubuh besar, pertumbuhan cepat, kualitas daging tinggi, rendah lemak, dan cita rasa yang khas.
Boer Fullblood—yakni kambing murni tanpa campuran genetik lokal—dapat mencapai berat lebih dari 70 sampai 80 kg dalam waktu yang relatif singkat. Ketika disilangkan dengan kambing lokal Jawa Randu, lahirlah keturunan F1. Keturunan ini memiliki kombinasi kekuatan genetik yang Istimewa yakni daya tahan terhadap iklim lokal, tapi tetap mempertahankan karakter unggulan Boer.
Semakin lanjut keturunannya—F2, F3, hingga F4—kualitas kambing makin mendekati Boer murni. Kambing jenis ini digemari peternak dan konsumen karena kualitas dagingnya dan nilai jualnya yang tinggi. “Pakan sama seperti kambing biasa. Tapi pertumbuhannya jauh lebih cepat, dagingnya lebih banyak dan berkualitas. Harganya juga lebih mahal,” jelas Pujo.
Awal yang Tidak Mudah, Tapi Penuh Pembelajaran
Pada tahun 2022, keluarga ini mulai dengan membangun kandang pertama di Desa Bono, Kecamatan Tulung Klaten, tempat kelahiran Pujo. Hanya 15 ekor yang dipelihara saat itu. Tapi langkah kecil ini menjadi fondasi kuat.
“Awalnya kami sempat bingung karena kambing kena flu. Kami belum punya pengalaman. Tapi pelan-pelan belajar. Kami konsultasi dengan peternak lain, cari obat, dan akhirnya tahu cara mengatasinya,” kata Pujo.
Anak-anaknya, Alderico dan Galih, tidak hanya mendukung dari belakang. Mereka ikut turun langsung. Mengurus kandang, membersihkan kotoran, mencampur pakan, hingga mencatat perkembangan berat kambing.
Setelah beberapa bulan, kandang kedua dibangun di Plosorejo Baru, Klaten Utara, di lahan kosong di samping rumah. Ini menjadi pusat kegiatan harian Galih dan Alderico. “Setiap pagi sebelum sekolah, mereka memberi makan kambing dulu,” cerita Meita sambil tersenyum bangga.
Generasi Peternak Baru
Galih, yang kini duduk di kelas 10 SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta, punya semangat luar biasa. Ia melihat beternak bukan hanya urusan masa kini, tapi investasi masa depan. “Banyak yang enggak nyangka kalau saya pelihara kambing. Tapi saya bangga. Ini usaha keluarga. Masa depannya bagus,” ujar Galih.
Kini, mereka tidak hanya menjual kambing ke wilayah Klaten, tapi juga sudah dikirim ke kota besar seperti Jakarta, bahkan Kalimantan. Harga jual pun mengikuti pasar. Hari biasa, kambing Boer dijual Rp 85.000 per kilogram bobot hidup. Saat musim haji atau Idul Adha, harganya bisa naik jadi Rp 90.000 per kilogram.
Peternakan ini fokus pada dua hal yaitu pembesaran dan penggemukan. Pakan menjadi kunci keberhasilan. Mereka membuat formula pakan sendiri: yaitu kleci (kulit kacang kedelai), kangkung, konsentrat, bren, dan jagung muda. “Pakan ini kami racik supaya kambing cepat tumbuh tapi tetap sehat. Kami tidak pakai bahan berbahaya,” tegas Pujo. Dan hasilnya memang nyata. Daging kambing Boer lebih padat, rendah lemak, dan disukai banyak konsumen.
Tahun ini, mereka tengah menyiapkan lahan 1.000 meter persegi di Polanharjo, Klaten, untuk perluasan peternakan. Mimpi mereka adalah membangun peternakan terpadu yang berbeda dari dua kandang sebelumnya.
Mereka juga menjalin kerja sama dengan para pedagang kambing Boer di wilayah Solo, Boyolali, Karanganyar. “Untuk wilayah Klaten, peternakan kami masih satu-satunya,” ujar Galih.
Kisah keluarga Pujo Darsono membuktikan bahwa peternakan bukan sekadar urusan kotor dan berat. Ketika dikerjakan dengan cinta, ilmu, dan kekompakan keluarga, ia bisa menjadi ladang harapan. Dari Plosorejo Baru, aroma kambing adalah aroma masa depan.
Galih dan Alderico, dua pemuda yang kini fasih bicara genetika kambing, nutrisi pakan, dan manajemen ternak, adalah bukti bahwa regenerasi peternak bisa dimulai dari rumah. Mulai tahun ajaran baru kuliah tahun 2005 ini Alderico akan memulai kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Dan semuanya bermula dari sebuah diskusi kecil: “Nanti kita usaha apa ya?” (Chaidir)