Summer Course UGM 2025 Bersama SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta Gaungkan Obat Tradisional sebagai Solusi Global

Mahasiswa Asia Tenggara Gaungkan
Obat Tradisional dan Masa Depan Hijau

SLEMAN – Obat tradisional kembali menjadi sorotan dalam forum internasional Summer Course 2025 yang diselenggarakan oleh Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan SMA Islam Al Azhar Yogyakarta 9 Yogyakarta.

Melalui presentasi yang disampaikan di Auditorium Al Hafidh, Senin (29/7/2025) bertajuk “Akar Penyembuhan, Masa Depan yang Cerah: Obat Tradisional untuk Pemuda dan Planet yang Lebih Hijau”, para mahasiswa dari berbagai negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan India, mengajak generasi muda untuk memahami, melestarikan, dan memanfaatkan obat tradisional sebagai solusi kesehatan sekaligus upaya pelestarian lingkungan.

Empat narasumber, yakni Fahmi Ikhsanuddin Jamhari (Indonesia), Cantika Fitriana (Indonesia), Nguyen Cat Tuong (Vietnam), dan Sothea Neary (Kamboja), memaparkan bagaimana pengobatan tradisional menjadi jembatan antara kesehatan holistik dan konservasi alam. Dengan mengedepankan pemanfaatan tanaman lokal yang mudah diakses dan ramah lingkungan, obat tradisional terbukti mampu menjawab tantangan kesehatan dengan pendekatan yang menyeluruh, murah, dan selaras dengan budaya setempat.

“Obat tradisional tak hanya menawarkan penyembuhan fisik, tetapi juga menyentuh aspek mental, emosional, hingga spiritual,” ungkap Fahmi dihadapan siswa SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta. “Di Indonesia, jamu seperti loloh cemcem bukan hanya warisan nenek moyang, tapi juga bentuk adaptasi masyarakat terhadap alam sekitar yang kaya tanaman obat.”

Sementara itu, dalam pemaparannya Cantika menekankan bahwa penggunaan tanaman seperti Spondias pinnata dalam jamu tradisional terbukti mendukung keanekaragaman hayati dan mencegah erosi. Sementara itu, Nguyen Cat Tuong dari Vietnam memperkenalkan diếp cá atau fish mint sebagai tanaman rumah yang berkhasiat menjaga sistem pencernaan dan daya tahan tubuh.

Sedangkan Sothea Neary menambahkan bahwa di Kamboja, tanaman sereh menjadi andalan dalam pengobatan Khmer karena manfaatnya yang luas dan kemampuannya menahan erosi tanah serta mengusir hama secara alami.

Baca Juga  Inovasi Siswa SMA Islam Al Azhar 9: Plester Luka Ramah Lingkungan Berbahan Kombucha

Obat tradisional di berbagai negara Asia memiliki kesamaan nilai yaitu memanfaatkan tanaman lokal, menghargai pengetahuan turun-temurun, dan mendukung keberlanjutan. India dengan ayurveda-nya mengandalkan kunyit, sementara Filipina mempopulerkan lagundi (Vitex negundo) sebagai obat herbal untuk penyakit pernapasan dan infeksi ringan.

Lebih dari sekadar pengobatan, para mahasiswa menegaskan bahwa pemanfaatan obat tradisional berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Panen tanaman obat secara bijak melindungi spesies dari kepunahan, memberdayakan perempuan dan lansia di pedesaan, serta menjaga tanah dan ekosistem lokal tetap lestari.

“Bagi generasi muda, pengobatan tradisional bukan hanya solusi murah meriah saat sakit, tapi juga simbol dari identitas budaya yang perlu dibanggakan,” ujar Cantika. “Ini adalah warisan yang harus kita jaga bersama.”

Summer Course 2025 ini juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas negara untuk merumuskan kebijakan kesehatan yang inklusif dan berakar dari kearifan lokal. Di tengah gempuran modernisasi, para pemuda Asia Tenggara menunjukkan bahwa kembali ke alam bisa menjadi langkah maju bagi kesehatan pribadi sekaligus kelestarian planet.

“Akar penyembuhan” yang dibahas dalam forum ini tak hanya menyiratkan potensi tumbuhan, tetapi juga semangat pemuda sebagai penjaga pengetahuan dan alam demi masa depan yang lebih cerah,” ujar Fahmi dengan optimistis.

Dalam sesi kedua bertema “Akar Penyembuhan: Mengapa Obat Tradisional Penting untuk Remaja dan Planet Kita?”, sejumlah narasumber muda lintas negara menyampaikan beragam manfaat dan urgensi pelestarian tanaman obat. Mereka adalah Anggita Tirta Ardani dan Ryany Faizatun Nabila Tarigan dari Indonesia, Sethy Sopheakra dari Kamboja, Hamsavahini V LKhanthan dari Malaysia, serta Phan Nguyen Hoang Linh dari Vietnam.

Menurut para narasumber, obat tradisional sangat relevan bagi remaja masa kini karena dapat membantu perawatan diri seperti mengatasi jerawat, stres, gangguan tidur, dan kram. “Lebih dari itu, penggunaan obat herbal memperkuat gaya hidup berkelanjutan dan menghubungkan kita kembali dengan budaya serta pengetahuan leluhur,” ujar Anggita Tirta.

Baca Juga  117 Murid Berprestasi SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta Raih Almond Award 2024

Beberapa tanaman herbal yang dibahas antara lain lidah buaya (penyembuh luka dan antimikroba), kunyit (antiinflamasi dan membantu pencernaan), suruhan (penurun asam urat), serta sambiloto (peningkat daya tahan tubuh dan pereda flu). Para peserta juga diajak mengenal pentingnya menanam tanaman herbal sendiri dengan pendekatan ramah lingkungan, seperti menggunakan pot daur ulang dan menyiram secara teratur.

Sethy Sopheakra menambahkan, pelestarian spesies tanaman obat lokal berdampak luas, tidak hanya bagi kesehatan individu, tapi juga menjaga keanekaragaman hayati dan memberi mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat lokal. “Contohnya, Selandia Baru berhasil menyelamatkan lebih dari 2.500 spesies tanaman asli, 80 persen di antaranya endemik,” katanya.

Tak hanya berbicara tentang tanaman obat, sesi ini juga mengangkat isu penting tentang perubahan iklim dan bioekonomi. Penggunaan obat herbal yang organik dan mudah terurai dinilai lebih ramah lingkungan dibanding obat sintetis, serta berkontribusi pada pengurangan jejak karbon dan pelestarian hutan seperti Amazon.

Phan Nguyen Hoang Linh menekankan bahwa gerakan kembali ke obat herbal juga sejalan dengan pencapaian berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk SDG 3 (kehidupan sehat), SDG 12 (produksi berkelanjutan), hingga SDG 13 dan 15 yang terkait perubahan iklim dan ekosistem daratan.

“Obat herbal menyelamatkan masa depanmu dengan melestarikan lingkungan,” ujar Hamsavahini.

Program Summer Course 2025 ini menjadi wadah kolaborasi internasional yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bertindak lokal, dan berdampak global dalam bidang farmasi dan lingkungan. Fakultas Farmasi UGM berharap diskusi ini bisa memperluas kesadaran generasi muda terhadap potensi besar obat tradisional sebagai akar penyembuhan masa depan. (Chaidir)