Day 3 : Berbagi Perspektif Pendidikan

Penulis : Agung Widiyantoro MPd

(Kepala SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta)

 

KINI seluruh manusia merasakan bahwa dunia dan masa depannya sulit dibaca dan diprediksi sebagai sebuah realitas yang penuh kepastian. Dahulu pada abad 18 dan awal abad 19, kita sama sama mengetahui bahwa pekerjaan di dunia didominasi oleh pekerjaan tradisional yang dikerjakan oleh tenaga manusia dan cenderung tidak menuntut skill tinggi.

Namun kini setelah lahir internet dan kecerdasan buatan, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tradisional tersebut digantikan dengan pekerjaan yang menuntut skill tinggi. Pendek kata, dunia era kecerdasan buatan ini melahirkan banyak pekerjaan baru yang menuntut keahlian yang tinggi. Maka lahirlah beberapa pekerjaan seperti data analyst & scentist; operator drone, digital content creator; digital marketing professional; ahli keamanan siber; dan ahli kecerdasan buatan.

Pesatnya kecanggihan teknologi dan informasi melahirkan kecerdasan buatan yang bagi banyak orang dapat menjadi ancaman bagi pekerjaan banyak orang di dunia. Bahkan otoritas pengambilan keputusan bagi kepentingan manusia pun digeser oleh kekuatan algoritma di jagad maya. Pada akhirnya sebagian besar orang enggan lagi berpikir terlalu kompleks dan rumit untuk hal hal seperti keputusan jenis makan yang dikonsumsi, universitas yang dipilih ketika lulus SMA, dan hobi menarik yang dilakukan. Cukup dengan satu klik pada tombol komputer kita, maka Google akan menyediakan seluruh alternatif jawaban atas keinginanmu.

Pada akhirnya, kita selalu menugasi Google atau mesin pencari informasi lain untuk mencari informasi yang relevan dan dapat dipercaya. Dengan kenyataan itu, rasa-rasanya saat ini “kebenaran” sudah didefinisikan menurut hasil teratas pencarian Google. Ada kecenderungan secara tidak langsung manusia akhirnya mengakui bahwa kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI)) beserta algoritmanya itu mampu menyajikan keputusan dan kebenaran yang lebih baik dari manusia. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa banyak generasi saat ini dalam beberapa hal mengalami penurunan kemampuan berpikir dan bertindaknya.

Kita semakin menyadari bahwa dunia telah berubah lebih cepat dari perkiraan-perkiraan manusia. Selain itu, ada ratusan bahkan jutaan informasi memenuhi semesta ini yang dapat diperoleh dengan mudah bagi siapa pun yang mampu mengaksesnya.

Informasi itu menjadi “Mahadata” yang dimainkan oleh kecerdasan buatan dan algoritma untuk mempengaruhi peradaban manusia di zaman modern ini. Umat manusia tengah menghadapi revolusi-revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semua cerita kesuksesan masa lalu, kedigdayaan masa silam telah runtuh dan belum ada yang mampu memprediksi dengan pasti, seperti apa dunia berabad ke depan.

Baca Juga  Kukuhkan Semangat Sekolah Ramah Anak, SDIA 59 Gelar Deklarasi

Lantas, bagaimana peran lembaga-lembaga pendidikan saat ini? Apa yang harus dilakukan untuk mengajarkan dan membekali anak anak didik kita hidup di era kecerdasan buatan ini? Apa keterampilan dan kemampuan yang harus dikuasai anak anak kita agar dapat bertahan hidup dengan robot-robot dan mesin mesin itu?

Bisa jadi banyak hal yang dipelajari oleh anak usia SMP-SMA saat ini kemungkinan tidak relevan lagi bagi mereka 20-30 tahun mendatang. Keterampilan-keterampilan yang diberikan di sekolah-sekolah saat ini pun bisa jadi sudah tidak dibutuhkan lagi oleh jenis pekerjaan di masa depan. Maka upaya pertama yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah mengubah pola pengajaran dan pembelajaran yang fokus menjejalkan sebanyak mungkin informasi kepada murid-muridnya.

Sebaliknya, mereka justru lebih membutuhkan kemampuan dan keterampilan untuk memahami informasi; membedakan informasi relevan, penting dan mana yang tidak penting; menyimpulkan informasi; dan mengintegrasikan-memadukan potongan-potongan informasi menjadi realitas baru. Pendek kata, penguatan kemampuan literasi murid-murid haruslah menjadi fokus utama yang mendasari setiap pembelajaran di berbagai mata pelajaran.

Dengan kemampuan literasi tersebut mereka akan memiliki daya kritis, kreatif, dan inovatif. Bahkan akan memiliki pandangan komprehensif tentang dunia dan mampu membuat keputusan yang sesuai dengan konteks zaman.

Upaya kedua, mengajarkan dan membekali murid-murid kita dengan keterampilan “Empat C” seperti yang banyak ahli pendidikan katakan, — critical thinking ; communication; collaboration; dan creativity. Itulah keterampilan yang diprediksi mampu membekali murid-murid keahlian hidup yang bersifat umum dibandingkan hal-hal yang berkaitan dengan keahlian teknis.

Pada akhirnya, murid-murid kita lebih membutuhkan kemampuan untuk menghadapi perubahan, mempelajari hal-hal baru, dan menjaga keseimbangan mental di situasi yang tidak biasa. Hal ini berarti yang digarap tidak saja tentang kemampuan berpikir namun juga sosio-emosionalnya.

Banyak ahli berpendapat bahwa abad 21 ini adalah era sulit meraih kemapanan baik secara ekonomi, sosial, politik, maupun kekuasaan. Maka murid murid perlu kita ajarkan untuk mencoba berpegang pada lebih dari satu identitas, pekerjaan, atau pandangan dunia yang mapan. Untuk itu, kemampuan belajar dan menciptakan ulang diri sendiri secara terus menerus menjadi amat penting.

Baca Juga  Akhirussanah Angkatan VI SD Islam Al Azhar 38 Bantul Nguri-Uri Budaya Jogja

Merujuk pada hal tersebut, saya menganggap bahwa upaya pemerintah melalui Kemendikbudristek meluncurkan kurikulum merdeka merupakan salah satu solusi jangka panjang meraih cita-cita yang saya ungkapkan tersebut. Melalui fokus pada karakter dan keterampilan hidup menjadi profil pelajar pancasila, saya yakin kemampuan belajar para murid akan berkembang sesuai tuntutan zaman.

Upaya berikutnya adalah menginternalisasikan pendidikan agama dan adab ke dalam pembelajaran murid-murid kita. Agama dan adab akan menjadi benteng terkuat dari berbagai serangan jagad maya. Karena agama akan mengokohkan bagian terdalam manusia dengan keputusan bertindak yang bermaslahat bagi umat manusia. Sebab algoritma mampu meretas perilaku manusia dan memanipulasi alam pikir kita. Sehingga murid-murid kita bukan lagi melayani teknologi melainkan teknologi yang melayani mereka. Pendidikan agama itulah yang nantikan akan mampu mempertahankan eksistensi diri murid-murid kita dalam kehidupan pribadinya dan masa depannya.

Hal terakhir yang saya usulkan adalah untuk para guru. Kurangi bahkan gunakan seminimal mungkin instrumen asesmen yang tidak mengukur kemampuan sebenarnya para murid kita. Gunakanlah Authentic Assesment dalam pembelajaran setiap hari dilakukan. Dengan bentuk-bentuk Authentic Assesment maka para murid kita akan leluasa mengeskplorasi potensi dirinya sehingga dapat menemukan kemampuan optimal mereka.

Selain itu, bentuk bentuk assessment tersebut juga dirasa mampu memprediksi keberhasilan anak anak kita untuk hidup di masa depan. Jadi para guru dapat menggunakan Authentic Assesment ini sebagai assessment for learning; assessment as learning; dan assessment of learning.

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan dengan mengutip perkataan CEO Nvidia, Jensen Huang tahun 2024 dalam sebuah wawancara di sebuah platform digital, ia mengatakan AI (Kecerdasan Buatan) tidak akan mengambil pekerjaanmu. Orang yang menggunakan AI (Kecerdasan Buatan) itulah yang akan mengambil pekerjaanmu. Oleh karena itu, gunakan kecerdasan buatan itu secepat mungkin dan sebaik mungkin untuk melayani kebutuhan hidup kita di dunia. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?