SLEMAN – Tak banyak yang menyadari, di tengah lalu lintas padat Jalan Ringroad Utara, tepatnya di kawasan Kampus 1 Al Azhar Yogyakarta World Schools (AYWS), Sinduadi, Melati, Sleman, berdiri sebuah monumen yang menyimpan cerita jauh lebih tua daripada usia kota Yogyakarta itu sendiri. Di depan Gedung Monumen MTQ Nasional XVI, terbaring sebuah fosil kayu purba—diam, tak berbicara, namun menyimpan kisah lintas jutaan tahun yang kerap luput dari perhatian orang-orang yang melintas.
Ia bukan sekadar batu besar dengan guratan serat kayu. Ia adalah saksi bumi, peninggalan alam yang umurnya melampaui sejarah manusia Nusantara. Banyak orang melihatnya sekilas lalu berlalu. Sedikit yang tahu bahwa benda yang terpapar panas matahari dan hujan itu adalah fosil kayu berusia sekitar 15 juta tahun—sebuah warisan purba yang kini menjadi elemen monumental sekaligus point of interest kawasan Monumen MTQ Nasional XVI.

Dikutip dari buku berjudul “Monumen MTQ Nasional XVI, Sejarah dan Perkembangan” yang diterbitkan oleh Yayasan Pusat Pengembangan Islam Mataram, sebuah dokumentasi resmi yang merekam perjalanan panjang pembangunan Monumen MTQ Nasional XVI Yogyakarta, disebutkan bahwa gedung Monumen MTQ Nasional XVI sendiri berdiri di atas kawasan yang luasnya mencapai sekitar 8.000 meter persegi. Namun hingga kini, bangunan monumen baru menempati sebagian lahan tersebut. Sejak awal, monumen ini memang dirancang tidak selesai dalam satu tarikan napas. Ia tumbuh bertahap, mengikuti irama ketersediaan dana dan semangat zaman yang melingkupinya.
Kisah fosil kayu ini mulai mengemuka pada tahun 1992, ketika proses pembangunan monumen tengah berlangsung. Saat itu, muncul sebuah gagasan untuk menghadirkan prasasti dari batu alam sebagai penanda sejarah penyelenggaraan MTQ Nasional XVI. Namun ide tersebut tidak berhenti pada sekadar prasasti. Dalam prosesnya, muncul pula pemikiran untuk menghadirkan sesuatu yang lebih kuat secara simbolik—sesuatu yang bukan hanya mencatat sejarah, tetapi juga menghadirkan rasa monumental.
Gagasan tersebut mendapat sambutan dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Pembangunan Gedung Monumen MTQ Nasional XVI. Langkah berikutnya pun diambil: mengajukan permohonan batu alam kepada Ismail Saleh, S.H., Menteri Kehakiman Republik Indonesia saat itu, yang dikenal luas sebagai kolektor batu alam.

Usulan tersebut mendapat restu dari Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) DIY selaku penasihat tim pembangunan. Tak lama berselang, Ismail Saleh, S.H. memberikan jawaban yang menggembirakan. Ia bersedia menyumbangkan salah satu koleksi batu alam miliknya yang berada di Jakarta.
Ketua Tim Pembangunan Gedung Monumen MTQ Nasional XVI, Ir. Soeripto Koesoemowinoto, bersama Sri Purwati selaku pimpinan proyek, kemudian berangkat ke Jakarta. Mereka tidak sekadar datang untuk mengambil batu, melainkan memilih—menimbang nilai estetika, simbolik, dan sejarah yang akan melekat pada monumen tersebut.
Pilihan jatuh pada sebuah batu alam yang berasal dari Garut Selatan, Jawa Barat. Namun, pilihan itu justru membuka lembaran cerita baru. Batu alam tersebut ternyata bukan batu biasa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ia diketahui sebagai fosil kayu, peninggalan pohon purba yang telah mengalami proses pembatuan selama jutaan tahun.
Di titik inilah panitia pembangunan berhenti sejenak. Ada kesadaran yang tumbuh perlahan: terlalu sayang jika fosil kayu setua itu hanya dijadikan prasasti. Nilainya terlalu besar untuk sekadar digoresi tulisan. Ia bukan sekadar penanda sejarah MTQ, melainkan arsip alam yang menyimpan sejarah bumi itu sendiri.
Keputusan pun diambil. Prasasti batu alam diganti dengan kayu jati pilihan yang berasal dari Bojonegoro, bantuan dari Dinas Kehutanan. Sementara fosil kayu purba tersebut justru diangkat perannya—bukan diturunkan. Ia ditempatkan di bagian depan gedung monumen, menjadi elemen utama penegas kesan monumental. Ide ini datang langsung dari Ismail Saleh, S.H., yang memahami betul nilai simbolik fosil tersebut.
Tak berhenti di situ, Ismail Saleh, S.H. juga mengusulkan agar fosil kayu itu dilengkapi dengan hiasan batu-batuan laut dari Nusa Tenggara Timur. Batu-batuan tersebut merupakan sumbangan Frans Matero, seorang pengusaha asal Surabaya. Agar tampil maksimal, batu-batuan itu dipoles oleh PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, dengan dukungan UBIBAM (Unit Bina Industri Batu Mulia), mitra binaan Pusri.
Kolaborasi lintas daerah, lintas profesi, dan lintas kepentingan itu akhirnya bermuara pada satu titik sejarah. Gedung Monumen MTQ Nasional XVI diresmikan pada 11 Februari 1993. Sejak hari itu, fosil kayu purba yang diletakkan di depan gedung monumen bukan hanya menjadi ornamen, tetapi simbol. Simbol pertemuan antara wahyu dan waktu, antara nilai keagamaan dan kesadaran sejarah alam.
Tentang Fosil Kayu: Ketika Waktu Menjadi Batu
Di hadapan sepotong fosil kayu, waktu seolah berhenti berbicara dengan bahasa manusia. Yang terdengar justru bisikan bumi—pelan, dalam, dan penuh kesabaran. Fosil kayu bukan sekadar batu bermotif serat, melainkan sisa kehidupan purba yang telah menempuh perjalanan sangat panjang sebelum akhirnya tiba di hadapan kita hari ini.
Fosil kayu—atau kayu membatu—berasal dari batang pohon purba yang terkubur oleh lapisan tanah, pasir, atau abu vulkanik. Dalam kondisi tanpa oksigen, kayu itu tidak membusuk. Perlahan, air tanah yang kaya mineral meresap ke dalam jaringan kayu, menggantikan setiap selnya. Struktur kayu tetap terjaga, namun bahannya berubah sepenuhnya menjadi batu. Proses ini bukan kerja singkat. Ia berlangsung jutaan tahun—sebuah kesabaran alam yang hampir mustahil dibayangkan oleh logika manusia modern.
Fosil kayu berusia sekitar 15 juta tahun berasal dari periode Miosen, masa ketika bumi masih diselimuti hutan lebat dan iklim mengalami perubahan besar. Usia ini menjadikannya jauh lebih tua dari kehadiran manusia purba di Nusantara. Ia adalah saksi dunia yang telah lama lenyap, menyimpan rekam jejak ekosistem dan iklim purba.
Nilai fosil kayu semacam ini tak bisa diukur semata dengan rupiah. Nilai terbesarnya terletak pada makna ilmiah dan historisnya. Bagi ilmu pengetahuan, fosil kayu adalah arsip alam yang tak tergantikan. Dari serat-seratnya, ilmuwan bisa membaca jenis tumbuhan purba, lingkungan hidupnya, hingga perubahan iklim jutaan tahun silam.
Namun fosil kayu juga memikat secara visual. Pola serat alaminya, warna mineral yang berlapis—cokelat, merah, kekuningan hingga hitam—membuatnya tampak seperti karya seni alam. Tak heran jika banyak orang terpikat. Meski demikian, di Indonesia fosil merupakan bagian dari benda cagar budaya yang dilindungi negara. Ia bukan komoditas bebas, melainkan titipan sejarah bumi yang mengandung tanggung jawab bersama.
Merawat fosil kayu sejatinya adalah merawat kesabaran alam itu sendiri. Meski telah menjadi batu, fosil tetap memerlukan perlakuan bijak. Ia idealnya disimpan di tempat kering, bersuhu stabil, dan terhindar dari paparan matahari berlebihan. Pembersihan cukup dengan kuas halus atau lap kering. Air dan bahan kimia justru bisa merusak permukaannya. Fosil tidak menuntut perawatan mewah—ia hanya meminta kehati-hatian dan rasa hormat.
Lebih jauh, fosil kayu menyimpan pesan filosofis yang dalam. Ia mengajarkan tentang keteguhan dan perubahan yang berlangsung tanpa tergesa. Di saat manusia mengejar kecepatan dan hasil instan, fosil kayu hadir sebagai pengingat bahwa nilai sejati sering lahir dari proses panjang yang sunyi.
Dalam perspektif spiritual, fosil kayu juga bisa dibaca sebagai tanda kebesaran Sang Pencipta. Bahwa bumi, waktu, dan kehidupan berjalan dalam hukum yang rapi dan penuh hikmah. Apa yang hari ini tampak biasa, kelak bisa menjadi peninggalan paling berharga bagi generasi mendatang.
Maka, ketika kita berdiri di depan fosil kayu berusia 15 juta tahun itu, sejatinya kita sedang bercermin. Tentang betapa singkatnya usia manusia dibandingkan perjalanan bumi. Tentang pentingnya menjaga, bukan sekadar memiliki. Sebab fosil itu bukan hanya menyimpan masa lalu, tetapi juga mengajarkan cara memandang masa depan—dengan lebih pelan, lebih hormat, dan lebih rendah hati.(Chaidir)







