Keikhlasan dan Kepedulian, Makna Agung di Balik Ibadah Kurban

SLEMAN – Sesungguhnya, setiap momen ibadah mengandung nilai-nilai keutamaan yang luhur serta pahala yang agung di sisi Allah Swt. Demikian pula halnya dengan ibadah di awal bulan Dzulhijah, yang memiliki pahala besar, keutamaan tinggi, dan fadhilah yang luar biasa, bahkan melebihi keutamaan jihad fi sabilillah.
Para sahabat pun tergerak oleh keutamaan tersebut dan bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, apakah pahala ibadah ini benar-benar lebih utama daripada jihad fi sabilillah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ya, kecuali bagi orang yang pergi berjihad dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali lagi (mati syahid).” (HR. Bukhari, Fath al-Baari, 3/969)
Demikian disampaikan oleh Ustadz H Munawir Abu Wardi SPdI MPd dalam khutbah Iduladha di Masjid Al-Hafidh Kampus 1 Al Azhar Yogyakarta World Schools (AYWS), Sleman, Jumat, 6 Juni 2025.
Dikatakan, bi balik besarnya fadhilah dan pahala ibadah kurban, terdapat syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu keikhlasan. Tanpa keikhlasan, sebesar apa pun ibadah yang dilakukan tidak akan bermakna di sisi Allah.
“Kita bisa melihat contoh keikhlasan agung dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Apakah Tuhan sedemikian kejam? Tentu tidak. Justru inilah bentuk ujian keimanan dan keikhlasan yang luar biasa,” tegasnya.
Nabi Ismail a.s. dengan penuh ketundukan berkata, “Wahai Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Ustadz Munawir menjelaskan, Nabi Ibrahim ikhlas menerima perintah tersebut, dan Ismail pun ikhlas menerima takdirnya. Ketika pisau hampir menyentuh leher Ismail, Allah menggantinya dengan seekor domba yang sehat dan gemuk. Ujian itu pun berubah menjadi kemuliaan. Allah mengabadikan keduanya sebagai nabi yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia, maqāmam maḥmūda.
Kepedulian Sosial: Makna Kedua dalam Kurban
Selain keikhlasan, ibadah kurban juga sarat dengan nilai kepedulian sosial. Ia mengajarkan umat Islam untuk memperkuat ikatan sosial, meningkatkan empati, dan mempererat persaudaraan.
Kondisi masyarakat yang seringkali direnggangkan oleh suhu politik, gejolak ekonomi, dan konflik sosial, menjadikan kaum dhuafa kerap terabaikan. Dalam situasi seperti itu, kurban hadir sebagai wujud kepedulian nyata kepada mereka yang membutuhkan.
Islam, kata Ustadz Munawir, mengajarkan prinsip untuk menjaga keharmonisan, menciptakan lingkungan yang aman dan damai, serta mendorong solidaritas sosial. Hewan kurban yang disembelih lalu dibagikan kepada fakir miskin adalah bentuk nyata ibadah sosial. Walaupun hanya 1–2 kg daging yang dibagikan, itu sudah mencerminkan solidaritas, kasih sayang, dan keshalehan sosial dari seorang Muslim.
Ia mengutip hadist Rasulullah Saw. “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim, dari Jabir bin Abdullah)
Ibadah kurban bukan hanya wujud cinta kepada Allah Swt., tetapi juga bentuk kasih sayang kepada sesama manusia dan lingkungan sekitar. Seorang mukmin yang sejati mencintai sesamanya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Rasulullah Saw. juga bersabda: “Kamu melihat kaum mukminin dalam kasih sayang dan kepedulian mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir)
“Inilah esensi ibadah kurban: menciptakan harmoni antara keikhlasan kepada Sang Pencipta dan kepedulian terhadap sesama. Sebuah bentuk ibadah yang sarat dengan nilai kemanusiaan dan tepo seliro (tenggang rasa),” ujar Munawir..
Kurban yang Diterima Allah
Ibadah kurban yang dilandasi keikhlasan dan kepedulian akan menjadi ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Keikhlasan menunjukkan ketundukan dan ketaatan, sedangkan kepedulian mencerminkan kasih sayang serta kepedulian sosial.
Menurutnya, kurban yang dilakukan dengan ikhlas menjadi bukti bahwa seseorang telah menyembelih nafsu hewaninya dan mengarah kepada nafsu muthmainnah — jiwa yang tenang, tunduk, dan patuh kepada Allah.
Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37). (Chaidir)

Baca Juga  Yuk! Sholat Idul Adha Bersama Senator DIY di Masjid Al Hafidh Kampus Al Azhar Yogyakarta