Penulis : Agung Widiyantoro MPd
(Kepala SMA Islam Al Azhar 9 Yogyakarta)
SEKOLAH adalah tempat pertemuan berbagai pola asuh orang tua yang berbeda. Tentu saja beragamnya pola asuh orang tua tersebut akan berdampak pada perilaku dan kebiasaan anak yang terlihat di sekolah.
Anak anak yang biasa dididik dengan pola asuh otoriter bisa jadi mengalami perkembangan sosio-emosinal yang kurang ideal. Sebab kendali penuh pilihan hidup anak ada di orang tua. Sehingga sering dijumpai orang tua model ini adalah orang tua yang overprotektif.
Pola asuh kedua, yaitu pola asuh permisif. Orang tua yang serba boleh. Orang tua yang menuruti semua keinginan anak. Dalam jangka panjang pola asuh demikian mengakibatkan anak cenderung tidak disiplin, agresif, dan manja. Pola asuh ketiga yakni demokratis. Ini merupakan pola asuh ideal karena memungkinkan adanya keseimbangan antara kendali orang tua dan keinginan anak. Anak hasil pola asuh ini akan berkembang lebih ideal dalam aspek sosio-emosional, kedisiplinan, tanggung jawab, dan perilaku.
Anak anak yang hari ini dididik oleh para guru di sekolah adalah hasil relasi dan interaksi berbagai pola asuh orang tua. Mereka bertemu dalam ekosistem pembelajaran di sekolah. Mau tidak mau, suka tidak suka, hal ini akan berdampak pada perkembangan perilaku anak didik kita di sekolah. Bahkan dapat terjadi pula konflik antar orang tua sebab interaksi dan relasi anak anak mereka.
Anak yang dididik dengan pola asuh otoriter akan menjalin relasi dengan anak dengan pola asuh permisif maupun demokratis. Pada kesempatan itulah, sering dijumpai anak anak akan mengalami perubahan perilaku dan perubahan ekspektasi tentang pilihan hidupnya. Lalu apa yang harus dilakukan sekolah?
Pertama, pemahaman terhadap identitas dan kebutuhan belajar anak. Memang bukan tugas yang mudah untuk menjawab pertanyaan siswa kita, “Apakah aku dipahami?”. Sekolah perlu memiliki instrumen untuk membedakan habituasi, perilaku, dan karakteristik tiap siswa berdasarkan pertimbangan jenis pola asuh di keluarganya.
Setelah data tersebut diperoleh fokuskan perhatian kita kepada anak anak yang diasuh dengan pola otoriter dan permisif. Identifikasi tahapan perkembangan sosio-emosional mereka yang memunculkan perilaku negatif kemudian lakukan langkah konkret untuk membantu mereka keluar dari kebiasaan tersebut. Pendek kata, bantu anak anak itu agar mampu menguatkan regulasi dirinya tentang tujuan jangka panjang hidupnya.
Kedua, bangun relasi dan interaksi dengan orang tua. Guru dan orang tua adalah orang dewasa yang tumbuh bersama dengan anak anak mereka. Maka relasi yang berkelanjutan antara orang tua dan guru harus terbangun dalam visi-misi yang clear dan sama. Orang tua harus senantiasa terlibat dalam tahapan perkembangan belajar anak anaknya di sekolah dalam konteks kemitraan positif dengan para guru di sekolah.
Pola tersebut akan semakin meneguhkan kepercayaan diri anak anak bahwasanya orang dewasa di sekitarnya telah memiliki ekspektasi sama tentang bagaimana mereka akan tumbuh dan mencapai tujuannya.
Ketiga, fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Baik guru maupun orang tua masing-masing harus fokus pada apa yang menjadi kendali mereka di lingkungannya. Guru akan fokus pada hal yang dapat diinternalisasikan kepada anak anak di masa belajarnya di sekolah.
Dengan kata lain, hal-hal yang bisa dikontrol dan dijauhkan dari distraksi selama anak berada di sekolah menjadi kewenangan penuh para guru. Sementara itu, orang tua fokus pada hal-hal yang dapat mendukung kemajuan belajar anak selama anak pulang dari sekolah hingga berangkat sekolah lagi. Tidak ada saling intervensi dan harapan berlebih pada apa yang tidak menjadi kendali bagi masing-masing entitas itu. Dengan demikian, relasi yang terbangun adalah relasi konstruktif bukan manipulasi maupun eksploitasi,
“Kamu memiliki kendali atas pikiranmu –bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.” (Marcus Aurelius—filsuf )