Prof Dr Imam Taufiq: Umat Islam Harus Jadi Duta Damai, Bukan Sumber Konflik

SLEMAN  – Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Prof Dr Imam Taufiq, hadir sebagai narasumber utama dalam Kajian Islam Sabtu Wage yang digelar di Masjid Al Hafidh, Kampus Sleman 1 Al Azhar Yogyakarta World Schools (AYWS), Sabtu (21 Juni 2025). Kajian yang rutin diselenggarakan ini mengangkat tema besar “Mengelola Konflik, Menebar Damai”, membahas dinamika masyarakat kontemporer di era digital.

Acara ini dihadiri oleh keluarga besar AYWS, Pembina Yayasan Asram Bunda Eni Yustini SE, Ketua Yayasan Asram/BPPH AYWS Drs HA Hafidh Asrom MM, para kepala satuan pendidikan, serta para wakil kepala bidang di lingkungan AYWS.

Dalam paparannya, Prof Imam Taufiq mengulas kompleksitas masyarakat digital masa kini yang ditandai oleh transformasi teknologi dan perubahan pola interaksi. Ia menyebutkan karakteristik utama era ini adalah technology oriented, Internet of Things, Artificial Intelligence (AI), banjir informasi (information overload), relasi digital, dan identitas sebagai digital citizenship.

“Fenomena keberagamaan di era digital cenderung bersifat instan. Banyak yang mengonsumsi ajaran Islam tanpa pendalaman, sehingga muncul narasi keliru bahwa Islam identik dengan kekerasan dan teror,” jelas Prof Imam.

Ia menegaskan pentingnya membedakan antara “Islam ramah” dan “Islam marah,” serta mendorong umat untuk memahami perbedaan mazhab dan khilafiyah sebagai kekayaan intelektual Islam, bukan sebagai pemicu perpecahan.

“Islam dan umatnya seharusnya menjadi duta-duta perdamaian, bukan sumber konflik,” tegasnya.

Dalil Qur’ani dan Sejarah Dakwah Nabi

Prof Imam mengutip QS. Al-Baqarah: 208 sebagai fondasi ajaran damai dalam Islam. Ayat tersebut, menurutnya, merupakan perintah untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh), sekaligus peringatan agar menjauhi langkah-langkah setan yang menimbulkan perpecahan.

Ia juga menguraikan sejarah dakwah Rasulullah SAW yang mencerminkan dua fase peradaban damai yaitu periode Makkah (610–622 M): Dakwah damai tanpa kekerasan, membentuk basis moral umat. Periode Madinah: Terbentuknya ukhuwah antara kaum Anshar dan Muhajirin yang melahirkan tatanan sosial yang damai dan harmonis.

Baca Juga  Nabila Aisyah Bella, Lulus SD Islam Al Azhar 31 Yogyakarta Hafal 7 Juz Alquran

Secara antropologis dan teologis, kata Prof Imam, manusia pada dasarnya mencintai kedamaian. Hal ini berakar dari syahadah fitrah, yakni pengakuan eksistensial terhadap Tuhan. Dalam diri manusia terdapat dua unsur utama yaitu Tanah (fitrah insaniyyah) dan Ruh (fitrah ilahiyyah).

Dari keduanya muncul berbagai potensi seperti Nafsu yang dipengaruhi kebajikan, wahyu, dan lingkungan. Kemudian syahwat yang bisa memicu keserakahan. Ghadab yaitu pemicu keberanian atau konflik. Akal yang membedakan baik dan buruk, serta Iradah yang membimbing keputusan dan Tindakan.

“Jika fitrah dikelola dengan baik, maka akan lahir nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang), bukan nafsu amarah (jiwa penuh konflik),” ujarnya.

Perdamaian Abadi dan Fluktuatif

Prof Imam membedakan dua bentuk perdamaian dalam Islam yaitu perdamaian abadi (ukhrawi) yang bersifat spiritual dan kekal. Strateginya adalah iman, Islam, dan ihsan. Kemudian perdamaian fluktuatif (duniawi) yang bersifat sosial dan temporal, terbagi menjadi Inner peace (dicapai melalui zikir, kepasrahan, dan rasa cukup), outer peace yang dicapai melalui strategi non-kekerasan, mediasi, musyawarah, keadilan distribusi, amanah, tahkim, dan islah.

“Zonanya berbeda. Inner peace berada di ranah spiritual dan psikologis, sedangkan outer peace ada pada wilayah sosial dan relasional. Keduanya melahirkan sakinah dan tuma’ninah, perdamaian sejati yang diidealkan Al-Qur’an,” ujarnya. (Chaidir)